Nabi bersabda: "Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya
adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan
(bagi pelakunya) melainkan surga"
Artikel untuk rubrik hadits kali ini adalah syarah
(penjelasan) hadits yang kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan
penambahan dan pengurangan kata dengan tanpa merubah isi dan maksud) dari kitab
Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/851-868), karya Syaikh Abdullah bin
Shalih al-Fauzan –hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-8,
Rabi’ul Awwal, tahun 8421 H, Dammam, KSA.
Hadits tersebut
adalah:
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya
adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan
(bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pembahasan hadits ini
akan ditinjau dari beberapa sisi:
1. Takhrij hadits
Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits ini (di dalam
Shahih-nya) pada Abwabul Umrah (bab-bab tentang umrah), yaitu pada Babu Wujubil
Umrah wa Fadhliha (bab tentang wajibnya umrah dan keutamaannya), nomor 1773.
Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (di dalam Shahih-nya pula), nomor 1349;
dari jalan Sumayy budak Abi Bakar bin Abdurrahman, dari Abu Shalih as-Samman,
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, secara marfu’ (sampai kepada Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam).
2. Keutamaan
memperbanyak ibadah umrah
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan
memperbanyak ibadah umrah. Hal ini disebabkan umrah memiliki keutamaan yang
agung, yaitu dapat menggugurkan dan menghapuskan dosa-dosa. Hanya saja,
mayoritas ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah
dosa-dosa kecil, dan tidak termasuk dosa-dosa besar.
Kemudian, kebanyakan para ulama pun menyatakan bolehnya
(seseorang) mempersering dan mengulang-ulang ibadah umrah ini dalam setahun
sebanyak dua kali ataupun lebih. Dan hadits ini jelas menunjukkan hal tersebut,
sebagaimana diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah. Karena memang hadits ini jelas
dalam hal pembedaan antara ibadah haji dan umrah. Juga, karena jika umrah hanya
boleh dilakukan sekali saja dalam setahun, niscaya (hukumnya) sama seperti
ibadah haji, dan jika demikian seharusnya (dalam hadits) disebutkan, “Ibadah
haji ke ibadah haji berikutnya…”. Namun, tatkala Nabi hanya mengatakan “Ibadah
umrah ke ibadah umrah berikutnya…”, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah boleh
dilakukan (dalam setahun) secara berulang-ulang (beberapa kali), dan umrah
tidaklah sama dengan haji.
Dan hal lain pula yang membedakan antara haji dan umrah
adalah; umrah tidak memiliki batasan waktu, yang jika seseorang terlewatkan
dari batasan waktu tersebut maka umrahnya dihukumi tidak sah, sebagaimana
halnya ibadah haji. Jadi, dapat difahami apabila waktu umrah itu mutlak dapat
dilakukan kapan saja, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah sama sekali tidak
menyerupai haji dalam hal keharusan dilakukannya sekali saja dalam setahun
(lihat Majmu’ul Fatawa, 26/268-269).
Namun, Imam Malik berkata, “Makruh (hukumnya) seseorang
melakukan umrah sebanyak dua kali dalam setahun” (lihat Bidayatul Mujtahid,
2/231). Dan ini juga merupakan pendapat sebagian para ulama salaf, di antara
mereka; Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan Muhammad
bin Sirin. Mereka berdalil; bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak melakukan
umrah dalam setahun melainkan hanya sekali saja.
Namun, hal ini bukanlah hujjah (dalil). Karena Nabi
benar-benar menganjurkan umatnya untuk melakukan umrah, sebagaimana beliau pun
menjelaskan keutamaannya. Beliau juga memerintahkan umatnya agar mereka
memperbanyak melakukan umrah. Dengan demikian, tegaklah hukum sunnahnya tanpa
terkait apapun. Adapun perbuatan beliau, maka hal itu tidak bertentangan dengan
perkataannya. Karena ada kalanya beliau meninggalkan sesuatu, padahal sesuatu
tersebut disunnahkan, hal itu disebabkan beliau khawatir memberatkan umatnya.
Dan ada kemungkinan lain,seperti keadaan beliau yang tersibukkan dengan urusan
kaum Muslimin yang bersifat khusus ataupun umum, yang mungkin lebih utama jika
dipandang dari sisi manfaatnya yang dapat dirasakan oleh banyak orang.
Dan di antara dalil yang menunjukkan keatamaan mempersering
dan memperbanyak umrah adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Iringilah ibadah haji dengan
(memperbanyak) ibadah umrah (berikutnya), karena sesungguhnya keduanya dapat
menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas
menghilangkan karat pada besi, emas dan perak. Dan tidak ada (balasan) bagi (pelaku)
haji yang mabrur melainkan surga” [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi
(810), dan an-Nasa-i (5/115), dan Ahmad (6/185); dari jalan Abu Khalid alAhmar,
ia berkata: Aku mendengar ‘Amr bin Qais, dari ‘Ashim, dari Syaqiq, dari
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu secara marfu’. Dan at-Tirmidzi mengatakan:
“Hadits hasan shahih gharib dari hadits Ibnu Mas’ud . Hadits ini pada sanadnya
terdapat Abu Khalid al-Ahmar, ia bernama Sulaiman bin Hayyan. Dan terdapat pula
Ashim bin Abi an-Nujud. Hadits mereka berdua dikategorikan hadits hasan. Karena
Abu Khalid al-Ahmar seorang yang shoduqun yukhthi’ (perawi yang banyak benarnya
dan terkadang salah dalam haditsnya), sedangkan Ashim bin Abi an-Nujud adalah
seorang yang shoduqun lahu awhaam (perawi yang banyak benarnya dan memiliki
beberapa kekeliruan dalam haditsnya)].
3. Keutamaan haji
mabrur
Hadits ini menunjukkan keutamaan haji yang mabrur (baik),
dan balasan orang yang mendapatkannya adalah surga. Haji yang mabrur, telah
dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, “Adalah haji yang tidak tercampur dengan
perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh
orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan
birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta
yang halal…” (lihat at-Tamhid, 22/39).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa haji mabrur memiliki lima
sifat:
Dilakukan dengan ikhlash (memurnikan niat dalam melaksanakan
hajinya) hanya karena Allah Ta’ala semata, tanpa riya’ dan sum’ah.
Biaya pelaksanaan haji tersebut berasal dari harta yang
halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan
Ia tidak menerima kecuali hal yang baik…”. (HR Muslim, 1015).
Menjauhi segala dosa dan perbuatan maksiat, segala macam
perbuatan bid’ah dan semua hal yang menyelisihi syariat. Karena, jika hal
tersebut berdampak negatif terhadap semua amal shalih dan bahkan dapat
menghalangi dari diterimanya amal tersebut, maka hal itu lebih berdampak
negatif lagi terhadap ibadah haji dan keabsahannya. Hal ini berdasarkan
beberapa dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji…” (QS al-Baqarah: 197).
Dilakukan dengan penuh akhlak yang mulia dan
kelemah-lembutan, serta dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) ketika ia
berkendaraan, bersinggah sementara pada suatu tempat dan dalam bergaul bersama
yang lainnya, dan bahkan dalam segala keadaannya.
Dilakukan dengan penuh pengagungan terhadap sya’a-irullah
(syi’ar-syi’ar Allah). Hal ini hendaknya benar-benar diperhatikan oleh setiap
orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, ia benar-benar dapat
merasakan dan meresapi syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah hajinya. Sehingga, akan
tumbuh dari dirinya sikap pengagungan, pemuliaan dan tunduk patuh kepada Sang
Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Dan tanda seseorang benar-benar telah
melaksanakan hal tersebut adalah; ia melaksanakan tahapan demi tahapan
rangkaian ibadah hajinya dengan tenang dan khidmat, tanpa ketergesa-gesaan dan
segala perkataan dan perbuatannya. Ia akan senantiasa waspada dari sikap
tergesa-gesa dan terburu-buru, yang justru hal ini banyak dilakukan oleh banyak
para jamaah haji di zaman ini. Ia pun akan senantiasa berusaha bersabar dalam
ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya hal yang demikian ini
lebih dekat untuk diterimanya ibadah hajinya di sisi Allah Ta’ala.
Dan termasuk bentuk pengagungan (seorang yang beribadah
haji) terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah) adalah menyibukkan dirinya
dengan banyak-banyak berdzikir, bertakbir, bertasbih, bertahmid dan istighfar.
Karena ia tengah beribadah, dan ia berada di tempat yang mulia dan utama.
Dan sungguh Allah pun telah memerintahkan para hamba-Nya
untuk mengagungkan, memuliakan dan menjaga kehormatan sya’a-irullah
(syi’ar-syi’ar Allah). Allah berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah
lebih baik baginya di sisi Tuhannya…” (QS al-Hajj: 30).
Dan Allah juga berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati” (QS al Hajj: 32).
Dan yang dimaksud dengan hurumatullah (hal-hal terhormat di
sisi Allah) adalah segala sesuatu yang memiliki kehormatan di sisi Allah, yang
Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkannya, baik berupa ibadah
dan yang lainnya. Dan di antaranya adalah manasik (tata cara ibadah haji) ini,
tanah-tanah haram, dan ber-ihram.
Adapun sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah), maka maksudnya
adalah lambang-lambang agama yang tampak jelas, yang di antaranya juga manasik
(tata cara ibadah haji) ini. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah
adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah…” (QS al-Baqarah: 158).
Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan pengagungan
terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun
ketakawaan, dan salah satu syarat pengabdian dan penghambaan kepada-Nya. Allah
pun jadikan pengagungan terhadap hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah)
sebagai sebuah jalan bagi hamba-Nya untuk meraih pahala dan pemberian karunia
dari-Nya.
Dan orang yang memperhatikan dengan seksama dan melihat
dengan cara pandang orang yang mau belajar tata cara ibadah haji Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, niscaya dia akan memahami bagaimana beliau
melaksanakan ibadah hajinya dengan penuh pengagungan dalam segala perkataan dan
perbuatan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Wallahu A’lam.
Sumber:
muslim
Hadits Keutamaan Ibadah Haji Dan Umrah
Nabi bersabda: "Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan...